

Sejumlah orang ditunjuk sebagai wakil menteri. Dalam beberapa hari terakhir, sudah ada 13 wakil menteri baru. Keberadaan wakil menteri ini dinilai sebagai cermin dilema etis presiden.
"Saya lihat ada kalkulasi politik. Presiden memiliki kekhawatiran, punya dilema etis di satu sisi yang memperhitungkan agar parlemen aman. Menjaga komposisi kabinet dengan kolaborasi antar partai adalah salah satu cara untuk menjaga parlemen aman," kata pengamat birokrasi FISIP UI Amy Rahayu dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (17/10/2011).
Dia menambahkan, posisi wakil menteri tidak punya kotak dalam struktur organisasi. Padahal kotak ini penting di struktur organisasi yang menentukan otoritas wakil menteri. Tanpa ada kotak yang jelas maka otoritas wakil menteri menjadi tidak jelas.
"Karena nggak ada otoritas, maka wakil menteri ini jadi seperti penasihat. Kalau memang yang dibutuhkan pernasihat, ya seharusnya yang diangkat adalah penasihat. Apa yang disampaikan staf khusus presiden, kalau wakil menteri ini bukan bagian kabinet lebih mengherankan lagi," tutur Amy.
Jika memang bukan bagian kabinet, sambung dia, menjadi pertanyaan mengapa ada jabatan prestisius wakil menteri. Padahal di bawah menteri ada pejabat eselon 1 yang bisa dimintai saran oleh seorang menteri.
"Adanya wakil menteri ini tidak akan efektif karena yang bersangkutan tidak bisa mengambil keputusan. Sebab otoritas pengambil keputusan di tangan menteri. Lalu apa yang mereka lakukan? Ada eselon di bawah menteri, ada dirjen di fungsi lini. Kalau mau dibilang ini menjadi gemuk, itu pasti," tutur Amy.
Banyaknya wakil menteri ini merupakan imbas dari kabinet yang berasal dari politik koalisi. "Takut memecat menteri karena akan menimbulkan gonjang-ganjing. Parlemen memang aman, tapi di tataran birokrasi, efektivitasnya perlu dibuktikan," kata Amy.