Refleksi Paskah
Posted by sibirong on April 25th 2011, 6:11:51 PM

Pagi-pagi buta saat hari gelap, saya merenungi kejadian yang sulit saya lupakan.

Ibuku meninggal dunia pada saat saya masih kecil. Jadi saya hanya tamat SMP karena tidak ada dana lagi untuk melanjutkan sekolah ke SMU.

Kemudian untuk melepaskan kehidupan sehari-hari saya tinggal dirumah kakakku yang bersuamikan seorang pelaut. Harapanku timbul lagi untuk melanjutkan sekolah. Suatu ketika saya utarakan niatku untuk melanjutkan ke SMU, tetapi kakakku malah memarahiku.

"Biaya untuk menyekolahkanmu tidak ada"
"Kamu seharusnya berterima kasih karena kami mau menampungmu tinggal dirumah ini"
"Bagaimana kalau kamu ikut ibu tiri? makananmu juga bisa terancam"

Saya terdiam tidak menjawab.

Kegiatan saya sehari-hari hanya mencuci dan menyeterika. Saya lakoni pekerjaan ini sampai umur 19 tahun tanpa mendapat imbalan apapun. Sakit rasanya tidak ada teman untuk curhat. Saya dianggap sebagai pembantu dengan hanya mendapatkan sesuap nasi. Setiap malam aku berdoa agar ada seseorang yang mau membawaku keluar dari rumah ini.

Pada saat usiaku menjelang 20 tahun, seorang pemuda bertamu ke rumah kakakku dan sudah agak berumur. Kalau dilihat dari tampangnya dia sudah berusia 34 tahun. Ternyata dia adalah teman kuliah kakakku dan belum menikah.

Perkenalan kami sudah berlangsung satu tahun hingga kemudian dia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Sambil malu-malu saya bertanya karena saya masih curiga apakah dia hanya main-main saja.

"Apakah kamu ingin menikahi gadis yang cuma tamat SMP? dan dari keluarga tidak mampu pula?"

Lalu dengan serius dia menjawab bahwa dia sungguh mau menikahiku.

Kamipun diberkati di gereja GPIB Jatinegara. Suka dan duka bercampur aduk saat pernikahanku. Saya bahagia karena masih ada lelaki yang mau menjadikan saya sebagai isterinya. tetapi saya sedih karena pernikahanku tidak dihadiri kakak dan ayahku. Dan perlengkapan pernikahanku juga tidak ada diberikan kakakku. Air mata kesedihan dan suka cita berbaur menjadi satu membasahi pipiku.

Setelah kehidupan rumah tangga kami berjalan sepuluh tahun, perekonomian kami makin membaik. Sebagai ucapan rasa syukurku saya membantu adik saya yang dikampung untuk kami sekolahkan ke perguruan tinggi. Lalu adikku itu menjadi seorang notaris di Jakarta.

Tetapi kebaikan yang saya berikan kepada mereka seolah-olah tidak pernah ada. Mereka malah menambah sakit hatiku dengan mengucapkan kata-kata menghina bahwa saya "orang bodoh, tidak berpendidikan".

Apakah kebaikan yang saya berikan tidak ada nilainya? Saya tidak habis pikir, mengapa masih ada orang yang membuat sakit hati, padahal kita sudah melakukan yang baik buat mereka? Mengapa masih banyak disekitar kita orang yang senang menebar kebencian?

Dari perenungan ini saya mengambil kesimpulan bahwa semuanya itu ada terjadi disekitar kita agar kita menjadi tetap sabar dan bertekun dalam doa. Ternyata tidak ada manfaatnya kita menyimpan dendam, benci terhadap seseorang, sekalipun kita dibenci mereka. Saya membayangkan Yesus yang sampai berdarah-darah mencintai kita untuk keselamatan kita sendiri.

Mari kita lebih mengasihi lagi kepada orang-orang yang melukai kita. Inilah pakaian kehidupan baru bagi kita yang mau mengikut Yesus.

Oleh : Walsinur Silalahi