Maraknya Iklan-iklan Politik
Posted by Manasse on May 29th 2008, 02:20:19 AM
•Oleh Triyono Lukmantoro

TIDAK terlalu keliru jika dikatakan bahwa 2008 adalah tahun politik. Bukan berarti pada tahun tersebut terjadi pergantian kekuasaan secara konstitusional, melainkan saat itulah momentum perebutan dan mempertahankan kekuasaan secara intensif dimulai.

Pihak elite politik yang berkuasa tetap mencoba merebut perhatian dan simpati rakyat kebanyakan dengan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) dalam arus ketidakpopuleran kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Retorika elite politik bahwa kenaikan harga BBM justru menguntungkan rakyat kecil, secara kontinu ditampilkan. Untuk meyakinkan publik, acara televisi dalam format talk show disodorkan. Kalimat kunci ”pemerintah melalui BLT berupaya memberikan subsidi bukan dalam bentuk barang, melainkan subsidi kepada orang” sengaja ditonjolkan.

Tentu saja, talk show semacam itu memang sama dengan propaganda. Sebab, isinya adalah pidato dan petuah yang berjalan dalam komunikasi satu arah, dari pihak yang memimpin kepada pihak yang dipimpin. Atau, lebih tepat jika dikatakan bahwa talk show seperti itu tidak lain adalah iklan yang dikemas dalam formula perbincangan.

Jauh-jauh hari sebelum momentum kenaikan harga BBM, kalangan elite politik yang berada di luar kekuasaan telah menggulirkan ”tebar pesona”. Instrumen yang digunakan serupa pula, yakni iklan politik yang berhamburan dalam ruang dan waktu media massa. Simaklah bagaimana Wiranto, mantan Panglima TNI dan kini Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), tampil dalam iklan serial tentang nasib rakyat yang dirundung kemiskinan. Kondisi itulah, yang menjadikan Wiranto bertekad ”mewakafkan” sisa hidupnya untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan.

Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, Wiranto menyodoknya melalui iklan menagih janji kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM.

Iklan politik lain dihadirkan oleh Prabowo Subianto. Sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Prabowo mengajak supaya masyarakat memakai produk-produk para petani dalam negeri. Hal itu dimaksudkan agar Indonesia, yang pernah digambarkan sebagai salah satu macan Asia, mampu ”mengaum kembali”.

Dalam iklan itu dideskripsikan pula bagaimana Prabowo sedemikian dekat dengan anak-anak dan begitu akrab dengan kalangan petani sebagai rakyat jelata. Sudah pasti, iklan semacam itu hendak menunjukkan bahwa Prabowo sangat memahami kondisi rakyat Indonesia, yang pekerjaan utamanya berada dalam sektor agraria.

Iklan politik berikutnya yang dominan tampil dalam media adalah advertensi yang dibintangi Sutrisno Bachir. Dengan penggunaan rangkaian kata kunci ”hidup adalah perbuatan”, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menampilkan diri dengan kata-kata puitis yang diambil dari sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, setelah itu mati”.

Figur Sutrisno, didampingi istrinya, muncul sebagai sosok yang sangat berwibawa di tengah kerumunan anak-anak yang mengekspresikan keceriaan. Nuansa patronase sengaja ditonjolkan, karena itulah makna signifikan sebagai sang pemimpin yang harus mampu melindungi para pengikutnya.

Tiga fungsi
Iklan politik sebenarnya tidak jauh berbeda dari iklan-iklan yang menjual produk-produk biasa lainnya, seperti deterjen, pewangi tubuh, pasta gigi, mobil, mesin cuci, dan ponsel. Iklan, apa pun jenis dan bentuknya, harus bisa memenuhi tiga fungsi utama. Sebagaimana dikemukakan Jorge Reina Schement (Encyclopedia of Communication and Information Volume 1, 2002: 11-12), iklan mempunyai fungsi untuk :
pertama, mengidentifikasikan.
Itu berarti iklan memperkenalkan suatu produk dan membedakannya dengan produk-produk lain. Dengan identitas dan personalitas yang unik, suatu produk dapat dibedakan dari produk-produk sejenis yang lain. Konsumen memiliki kesadaran terhadap produk tersebut, karena iklan menyediakan basis pengetahuan bagi konsumen dalam memilih.

Kedua, menginformasikan.
Iklan berfungsi mengabarkan kepada masyarakat tentang suatu produk, ciri-cirinya, dan lokasi penjualannya. Ketiga, mempersuasi. Fungsi terpenting iklan adalah membujuk konsumen supaya bersedia membeli dan menyarankan untuk menggunakan lagi produk yang diiklankan.

Mengemas pesan tentang profit yang diperoleh konsumen, adalah strategi terpenting agar konsumen memberikan perhatian dalam arena produk-produk yang sedang bersaing. Tidak mengherankan apabila iklan dibuat semenarik mungkin dengan aneka kreativitas dalam wujud gambar dan pilihan kebahasaan.


Sebagaimana iklan-iklan produk biasa yang lain, iklan politik harus mampu memenuhi tiga fungsi penting tersebut. Perbedaan pokoknya adalah sosok yang dijual, dari yang semula barang menjadi orang. Perbedaan berikutnya adalah slogan-slogan yang dipamerkan, dari yang semula pesan-pesan bernilai komersial menjadi imaji-imaji yang dilumuri dengan petuah-petuah moral.

Fenomena yang semakin sulit untuk dihindarkan adalah tokoh-tokoh politik tidak lebih sebagai komoditas alias barang-barang yang diperdagangkan. Jika status pembeli pada iklan produk biasa bernama konsumen, maka predikat pembeli iklan politik dinamakan konstituen. Namun, relasi yang menghubungkan kedua jenis iklan itu tetaplah sama, yakni jalinan produsen dengan konsumen atau seller dengan buyer.
Budaya Konsumen
Haruskah kita terkejut mengetahui adanya iklan-iklan politik yang berhamburan itu? Seharusnya tidak! Sebab, saat inilah era masyarakat konsumen dijejali dengan berbagai ragam pesan komersial dan kotbah-kotbah moral. Semua yang berada dalam pusaran budaya konsumen, entah itu produk biasa atau tokoh-tokoh politik, harus berakhir kedudukannya sebagai komoditas. Kalangan elite politik yang berambisi mempertahankan atau merebut kekuasaan harus bersiap dan bersibuk diri untuk memasuki mesin komodifikasi. Nilai jual adalah problem yang harus mendapat perhatian.

Iklan politik lain dihadirkan oleh Prabowo Subianto. Sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Prabowo mengajak supaya masyarakat memakai produk-produk para petani dalam negeri. Hal itu dimaksudkan agar Indonesia, yang pernah digambarkan sebagai salah satu macan Asia,
mampu ”mengaum kembali”.

Dalam iklan produk biasa, yang dikehendaki adalah jumlah pembeli yang semakin banyak dan bersetia menggunakan produk yang diiklankan. Adapun pada iklan politik, yang diharapkan adalah jumlah pemilih yang melimpah dan memiliki loyalitas tinggi. Jadi, nilai jualnya tetap sama, yakni memenangi kompetisi!

Untuk mencapai kemenangan dalam kompetisi politik, bukan fenomena yang terlalu aneh jika iklan-iklan politik dikemas sedemikian atraktif. Hal tersebut dimaksudkan supaya masyarakat kebanyakan mampu membedakan antara elite politik yang satu dengan elite politik yang lain.

Itulah cara iklan politik dalam menyajikan diferensiasi. Informasi tentang berbagai keunggulan dan karakteristik kalangan elite politik yang dicitrakan penuh belas kasihan kepada rakyat kecil, semakin ditonjolkan. Pada titik puncaknya, iklan-iklan politik itu berisi bujukan agar rakyat menjatuhkan pilihan kepada elite-elite politik yang begitu bersemangat dalam menggeber iklan.

Kalangan elite politik yang berada di luar lingkup kekuasaan, entah yang sengaja memosisikan diri sebagai oposisi atau politikus yang mencitrakan diri mampu bersikap kritis, sengaja menggelar iklan agar masyarakat makin mengenali figur-figur mereka. Itu berarti mereka berupaya meraih popularitas yang bercorak positif. Sebab, sorotan media lebih banyak diarahkan kepada elite politik yang sedang berkuasa, baik ketika mereka mengeluarkan kebijakan yang tidak populer sama sekali maupun pada saat membuka acara-acara yang sarat dengan selebrasi.

Alasan lain yang rasional adalah saat ini merupakan era politik yang dimediasikan. Sebagaimana dikemukakan John Corner dan Dick Pels (Media and the Restyling of Politics, 2003: 4-7), politik yang dimediasikan menunjukkan gejala bidang-bidang politik mengikuti logika dan imperatif media. Khalayak media diandaikan gampang terpesona oleh penampilan fisik dan personalitas figur politik ketimbang program yang sistemik.

Apakah elite-elite politik yang rajin beriklan dengan pengerahan personalitas yang dibangun melalui teknik advertensi itu bisa menarik minat masyarakat? Tentu saja tidak segampang yang dibayangkan. Iklan politik boleh jadi hanya mampu memikat pada level kognitif (pemikiran), sedangkan level afektif (sikap) apalagi psikomotorik (tindakan) masih tetap menjadi misteri. Terlebih lagi masyarakat pun sadar bahwa iklan apa pun jenisnya selalu berkoar tentang produk berkualitas nomor satu. Iklan, apalagi iklan politik, sudah pasti tak terlalu jauh dengan dunia kecap yang penuh manipulasi!(68)

–– Triyono Lukmantoro, pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang.