

Jakarta - Diego Forlan mulai dikenal orang saat berseragam Manchester United. Meski di sana karirnya tidak bersinar, pemain terbaik Piala Dunia 2010 itu tetap menganggap Old Trafford sebagai tempatnya belajar.
Forlan dibawa ke Inggris pada awal 2002, dibeli dari klub Argentina Independiente dengan ongkos tujuh juta poundsterling. Selama dua tahun menjadi pemain The Red Devils, ia gagal masuk tim inti dan cuma spesialis pemain pengganti.
Dari total 95 pertandingan, penyerang kelahiran 19 Mei 1979 itu hanya mencetak 17 gol. Statistik tersebut menurut Forlan tidak jelek-jelek amat mengingat ia sering dimainkan hanya untuk lima, 10 atau 15 menit saja.
Di musim panas 2004 MU memutuskan melego Forlan ke Villarreal. "Mendadak" kehebatannya terkuak. Di akhir musim itu juga ia langsung menjadi top skorer Liga Spanyol dengan 25 gol, dan meraih trofi 'Sepatu Emas' Eropa bersama Thierry Heny (Arsenal).
"Selama di United aku belajar banyak dari orang-orang seperti Laurent Blanc, David Beckham, Juan Sebastian Veron, Roy Keane dan Fabien Barthez," tutur Forlan dalam wawancaranya dengan Eurosport yang dirilis Selasa (12/10/2010).
"Banyak pemain hebat di sana, berkualitas dan bintang-bintang besar. Tiga tahun aku di sana, dan itu adalah tiga tahun yang indah. Bisa mendapatkan sebuah hubungan seperti itu sungguh menawan.
"Waktu itu aku masih belajar," sambungnya. "Aku masih muda. Aku sedang mencoba meningkatkan kemampuanku, tapi level dan kualitas skuad waktu itu sudah mengagumkan."
Pada akhirnya, tukas Forlan, sering bermain dan menjadi pemain reguler adalah hal yang paling ideal untuk membuat seorang pemain berkembang. Itulah yang ia alami setelah meninggalkan MU, baik bersama Villarreal maupun Atletico, di mana ia kembali meraih 'Sepatu Emas' Eropa di musim 2008/2009, dan puncaknya adalah ia menjadi pemain terbaik Piala Dunia 2010.
"Gampang saja. Waktu aku berganti klub, aku bermain di semua pertandingan. Anda mendapatkan banyak kepercayaan diri. Kalau cuma duduk di bangku cadangan, Anda tidak memperoleh itu. Di Villarreal aku mendapatkan kesempatan bermain dan frekuensi bermain menjelaskan perubahan ini."
Forlan, yang juga sangat menyukai tenis dan bahkan pernah nyaris memilih olahraga itu sebagai sebuah pilihan berkarir, juga bercerita tentang salah satu kebahagiaannya tampil gemilang di Afrika Selatan musim panas kemarin.
Ia mengikuti jejak ayahnya, Pablo Forlan, yang juga pernah memperkuat Uruguay di Piala Dunia 1974. "Dia sangat senang dan puas. Dia datang ke Piala Dunia dengan keluargaku dan menikmatinya. Dia tidak banyak omong, tapi tentu saja dia sangat bahagia dan bangga," pungkas Forlan.