Lewat Secangkir Kopi (bag 3)
Posted by sibirong on October 6th 2010, 11:30:24 PM

Sudah lima jam berlalu. Aku tidak tahu di mana Shota berada. Ia tidak memberi tahu sedikit pun ke mana perginya dia malam ini. Aku akan kesal sekali begitu esok pagi ia tiba dan tidak meminta maaf padaku. Ia benar-benar mengesalkan. Aku khawatir setengah mati dan ia seenaknya saja pergi tanpa memberi tahu. Sudahlah, aku mau tidur saja.

Shota belum pulang, padahal sudah dua hari. Aku mungkin sudah bisa melapor pada kantor polisi terdekat kenapa ia menghilang tiba-tiba. Aku bisa memberikan foto dan keterangan yang bermanfaat agar kantor polisi mau membantuku mencari Shota, namun aku tahu itu adalah ide yang paling bodoh. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.

Aku menelepon siang harinya ke kantor Shota, menekan ekstensi bagian Shota, kemudian ada seseorang yang mengangkat sambungannya. Seseorang dari tempat Shota pun menanyakan hal yang sama padaku. Shota memang minta cuti selama seminggu, tapi ia tidak tahu ke mana perginya Shota.

Aku kaget mengetahui Shota akan pergi selama itu tanpa memberi tahuku. Biasanya, ia pasti memberi tahuku, walau hanya terlambat satu jam. Biasanya, ia tidak begitu semisterius ini. Setelah selesai berterima kasih, kuputuskan saja untuk menitipkan kedai pada Edo yang sedang libur semesteran, sementara aku pergi mencari Shota.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah apartemen Shota yang dulu. Mungkin saja ia kembali ke apartemennya sementara waktu ini. Aku tidak menemukan Shota di sana. Pintu apartemennya terkunci. Saat kutanya salah seorang keamanan di tempat tersebut, tempat itu memang sudah tidak dihuni selama enam bulan. 

Aku tidak berminat sama sekali membuka kedai kopiku keesokan harinya. Aku meliburkan pegawaiku hari ini. Aku pun tidak berniat bangun dari tempat tidurku. Aku menunggu teleponku berdering dan mungkin saja Shota menelepon. Tepat ketika aku memikirkan hal itu, telepon rumahku pun berdering. Buru-buru kuangkat telepon tersebut untuk memastikan apakah suara yang berada di sambungan telepon itu adalah suara seseorang yang amat sangat kurindukan. Ketika suara wanita terdengar, aku kembali tak bersemangat. Ternyata, salah satu temanku menelepon. Ia memintaku datang ke acara reuni.

Begitu kumatikan teleponnya, aku duduk menyandar. Telepon tersebut kembali berdering. Saat kuangkat, lagi-lagi ini suara wanita. Aku baru saja ingin mematikannya waktu aku tahu bahwa ini suara wanita yang berbeda, yang jarang sekali kudengar suaranya. Waktu tahu bahwa yang menelepon adalah ibu Shota, mertuaku, aku terkesimak.

“Aku mau bertamu ke rumahmu, Ayu,” begitu kata mertuaku.

“Lama menunggu, ya, Nyonya Hajime?”

Aku membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan kue-kue kecil. Mertuaku terlihat sangat menawan di usianya yang tidak muda lagi. Wajahnya yang cantik itu membuatku yakin bahwa Shota mewarisi sebagian besar ketampanannya dari wanita ini. Ia duduk dengan anggun di sofa merah tempatku dan Shota biasa menghabiskan waktu.

“Tidak berubah, ya. Rumahmu sangat rapi, semuanya tersusun dengan baik.” Aku menunduk mendengarkannya berbicara. Sebenarnya, ide membuat rumahku tampak rapi karena Shota. Jika bukan Shota yang mengaturnya, mungkin rumah ini akan terlihat sangat berantakan.

“Shota sedang bekerja, ya?” akhirnya Nyonya Hajime menanyakan keberadaan putranya. Pandangannya kemudian teralihkan oleh satu kamar di depannya. Ia tidak tahu kalau sejak pertama kami memang tidak tidur sekamar.

“Kamar itu dijadikan Shota untuk tempat menyimpan barang–barangnya,” kataku, berbohong.

Ia kembali menoleh ke arahku, menatapku, kali ini lebih ramah. “Jangan panggil aku Nyonya Hajime, aku mohon. Kan sudah kuberi tahu kalau aku juga ibumu, Ayu.”

“Baiklah... Bu,” ucapku, sedikit ragu.

“Sebenarnya aku mau mengajakmu dan Shota makan malam bersama di rumah.” Ibu Shota mengambil cangkir teh dan meminumnya pelan–pelan. “Tadinya aku mau mengabarinya lewat telepon, tapi hitung-hitung ingin bertemu dengan menantuku, maka aku datang kemari.” Lagi-lagi ibu Shota tersenyum.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan sudah dua hari Shota tidak pulang ke rumah, tidak mengabari apa pun kepadaku, dan aku tidak tahu dia pergi ke mana.

“Eh... aku tidak janji, Bu.”

“Kenapa? Apakah kalian sudah punya acara terlebih dahulu?” Wajah ibu Shota  tampak kecewa.

“Eh... Shota...,” aku ragu-ragu mengatakannya.

“Shota sudah punya acara?” tanya ibu Shota. Bahasa Indonesia-nya baik sekali. Shota bilang, ibunya mewarisi darah Indonesia, tapi aku tidak mengerti dari sisi yang mana, karena wajahnya sangat Jepang.

“Maaf, aku lancang, Bu. Tapi, sebenarnya... sebenarnya Shota sudah dua hari ini tidak pulang,” akhirnya aku berbicara padanya. Aku menunduk malu, mengetahui bahwa mungkin di mata ibu Shota, aku bukanlah istri yang baik, yang tidak tahu ke mana perginya suaminya sendiri.

“Ia tidak menelepon? Tidak memberi tahumu sedikit pun?”

Aku menggeleng. Aku sudah berusaha meneleponnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku menjelaskan pada ibu Shota bahwa aku sama sekali tidak tahu kenapa ia pergi. Aku tidak tahu apakah aku telah berbuat salah, yang jelas ia tidak memberi tahuku ke mana perginya. Ibu Shota menoleh ke belakang, melihat ke arah kalender yang terpasang di dinding di belakangnya.

“Jangan-jangan ia benar-benar pergi....” Kalau tidak salah aku mendengar ibu Shota berbicara begitu pelan pada dirinya sendiri.

“Pergi?” aku bertanya akhirnya.

“Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, tapi apakah Shota belum menceritakan apa pun padamu, Yu?”

“Menceritakan apa, Bu?”

“Bahwa ia akan pergi ke Jepang?”

“Ke Jepang?” aku mengulangi kata-kata itu, lebih untuk meminta penegasan bahwa aku tidak salah dengar. Ke Jepang! Untuk apa? Kenapa tidak memberi tahuku sedikit pun?

“Oh! Demi Tuhan, aku tidak mengerti! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang tidak aku ketahui, Bu? Aku mengkhawatirkannya sampai hari ini. Aku menunggunya saat sore itu, berharap ia pulang, tapi ia tidak pulang, tidak memberi tahuku. Ada apa ini?” Aku mulai kebingungan. Apa yang sedang Shota sembunyikan?

“Hari ini, tepat di hari ini...,” ibu Shota berhenti berbicara. Aku rasa ia sedang mencari kata-kata yang pas. Namun, aku sudah tidak sabar mendengarnya.

“Ada apa di hari ini, Bu?”

“Tepat di hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian istrinya yang dulu.”

Bohong jika aku tidak mendengar apa yang ibu Shota ucapkan barusan. Kebenaran macam apa itu? Kebenaran macam apa? Apa yang sedang terjadi? Kematian istrinya yang dulu? Shota tidak pernah memberi tahuku ia pernah menikah. Ia tidak pernah sedikit pun memberi tahuku tentang hal ini. Padahal, aku menceritakan semua hal yang Akbar lakukan terhadapku, bagaimana perasaanku dulu padanya, tapi kenapa tidak sedikit pun ia membicarakan kehidupannya? Masa lalunya?

“Aku tidak yakin apa ini benar, namun aku tidak punya pilihan. Kalau kau tidak tahu, aku akan memberitahukannya, Yu. Istrinya meninggal tiga tahun yang lalu saat melahirkan. Keduanya tidak selamat saat proses kelahiran tersebut. Sejak saat itu Shota pergi dari Jepang. Ia memutuskan bekerja di Jakarta dan hidup sendiri meninggalkan Jepang. Namun, setiap tahun, setiap peringatan kematian istri dan anaknya, ia pulang ke Jepang untuk memperingatinya,” kata ibu Shota, sambil mengusapkan tisu ke matanya yang
mulai membasah.

Aku tidak mampu berbicara. Aku tidak tahu, apakah aku sedang terkejut atau tidak percaya pada kenyataan ini. Namun, aku merasa seperti sedang ditampar oleh sesuatu. Pandangan mata itu... aku jadi ingat pandangan mata Shota yang begitu hampa, kosong, seperti ia tidak hidup di dunia ini. Aku jadi mengerti kenapa ia memintaku menikahinya, meskipun ia belum mengenalku waktu itu.

“Tadinya kami takut Shota akan menjadi gila. Aku takut sekali Shota akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah kematian istrinya, ia menjadi sangat pendiam. Ia tidak pernah menangisi keadaannya, namun sikapnya yang seperti itu malah membuat kami resah. Tiga hari setelah kematian istrinya, tiba-tiba ia minta dipindahkan ke Jakarta. Semuanya sangat tiba-tiba. Enam bulan yang lalu ia datang padaku dan bilang mau menikahimu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi semua itu terasa aneh bagiku,” ujar ibu Shota, pelan. Aku sendiri masih sangat terkejut dengan kebenaran ini. Aku belum tahu harus berbuat apa.

“Karena itu aku sedikit lega, walaupun terasa aneh, mengetahui ia akan menikah lagi. Setidaknya ia tidak sendiri, itulah yang aku harapkan. Ia tidak sendiri dan melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah dilakukannya setahun yang lalu.”

“Apa yang dilakukannya setahun yang lalu?”

“Di suatu hari ia mengatakan padaku ia ingin bersama dengan istri dan anaknya. Ia ingin menyusulnya. Ia bilang ia ingin secepat mungkin menyusul mereka.”

“Maksud Ibu, ia ingin bunuh diri?”

“Begitulah... aku baru sadar saat mengetahui ia sudah berada di rumah sakit, dengan banyak infus mengalir di tubuhnya.”

“Shota tidak seperti itu. Ia pendiam, tapi tidak seperti itu!” sebisa mungkin aku menangkis kebenaran itu.

“Dulu ia seperti itu. Kuperhatikan belakangan ini, semenjak hidup denganmu, ia sedikit lebih hidup.”

“Lalu... apakah ia akan kembali?”

“Aku sendiri tidak tahu. Biasanya ia akan pulang sehari setelah peringatan kematian itu.”

“Bersabarlah padanya, Yu. Aku sebagai seorang ibu benar-benar memohon padamu. Bantulah ia untuk kembali menjalani hidupnya.”

Aku pikir Shota benar-benar akan datang sehari setelah peringatan kematian istri dan anaknya. Namun, sudah hari kedua ia tidak juga datang. Sudah lima hari Shota tidak kembali ke rumah. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan hari-hari kami yang penuh ketenangan, walau hanya berdua dengannya. Aku merindukan genggaman tangannya. Kini, ketika aku tahu kebenarannya, aku makin merindukannya.

Aku berdiri di depan pintu kamar Shota. Ia tidak pernah mengunci pintu kamarnya, namun pintu kamarnya selalu tertutup. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarnya. Aroma Shota seperti ada di sekelilingku. Kamarnya tertata rapi. Kulangkahkan kakiku masuk mendekati lemari kecil dekat dengan tempat tidurnya. Aku pikir aku bisa menemukan keterangan lebih jelas mengenai masa lalunya di lemari tersebut, tapi tidak ada sedikit pun keterangan yang menjurus ke sana.

Kubuka lemari pakaian Shota, ada kardus berwarna putih di bagian atasnya. Kardus itu sudah berdebu, jadi aku turun ke bawah untuk membawa lap basah dan membersihkannya. Saat selesai kubersihkan, kubuka tutup kardus tersebut perlahan. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, mencuri-curi dokumentasi pribadinya tanpa seizin Shota, aku tidak tahu.

Aku pandangi album berukuran sedang berwarna cokelat. Ada banyak kertas berisi tulisan, beberapa CD musik dan dua notes dengan ukuran yang sama seperti ukuran album. Aku tidak mengerti tulisan dalam kertas dan notes tersebut, karena ditulis dalam huruf kanji. Kuputuskan untuk menelepon Edo dan menanyakan padanya tentang isi notes dan kertas-kertas ini.

Sambil menunggu Edo ke atas, aku duduk menyandar pada ranjang Shota dan mulai membuka album fotonya. Semua foto itu adalah foto-fotonya ketika kecil, saat sekolah dasar hingga universitas. Di antara orang-orang yang berada di foto tersebut, aku menemukan satu orang yang selalu ada, seorang gadis yang di foto universitasnya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Di halaman berikutnya aku melihat Shota berfoto berdua dengan wanita tersebut. Di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Inggris: ‘What a day with Reika’. Jadi namanya Reika. Aku melihat gambar cangkir berwarna hijau dan ada tulisan ‘Reika’s fav is tea’. Di halaman selanjutnya, mereka berdua dalam kimono yang khas, seperti yang sering kulihat dalam film-film Jepang saat upacara pernikahan.

Reika memakai kimono putih dengan bunga-bunga pink. Rambutnya ditata sedemikian rupa seperti wanita dalam film Memoir of A Geisha. Shota terlihat sangat tampan. Ia memakai kimono berwarna biru tua dan tersenyum. Aku ambil salah satu CD yang berada di kardus tersebut. 

Aku berdiri untuk mendengarkan CD tersebut. Begitu kuputar tombol play, lagu tersebut terdengar sangat enak, walaupun aku tidak tahu apa arti liriknya. Edo datang di saat itu juga. Begitu ia mendengar lagu-lagu ini, ia segera tahu siapa yang menyanyikannya.  “Aku suka track yang ke-5!” aku membiarkan Edo mendengarnya. Ia bilang lagu ini dinyanyikan oleh L’Arc en Ciel dengan judul Flower. Mungkin aku menyukainya, karena inilah satu-satunya lagu yang bisa kubaca dalam bahasa Inggris. Tapi, percuma saja, begitu tombol play kutekan, si vokalis malah menyanyikannya dalam lirik Jepang. Di catatan pinggir CD, aku melihat tulisan ‘Reika’s fav’. Ternyata, lagu ini juga lagu favorit mendiang istri Shota.

“Mbak, kalau Shota-san tahu barang-barangnya digeledah seperti ini...,” Edo ragu-ragu waktu kuminta membaca notes-nya. Aku segera menyahut, “Biar saja. Dia juga nggak peduli kalau aku menunggunya!”
Edo cukup mahir ternyata. Ia mengartikan dengan baik setiap kata yang terdapat di dalamnya. Edo bilang, ini buku harian

milik seorang wanita. Sedangkan kertas-kertas tersebut diberikan oleh seorang laki-laki untuknya.
Ia membaca satu kalimat terakhir dalam buku itu yang ditulis dalam bahasa Inggris, then seek, not, sweet, the If and why, I love u now until I die, for I must love because I live, and life in me is what u give... sebuah bait dalam puisi karya Christopher Brennan, Because She Would Ask Me Why I Loved Her.

Aku diam mendengar Edo membacanya. Aku juga tidak sanggup membendung lagi air mata yang sudah berhari-hari lalu ingin kukeluarkan. Edo mendekatiku dan memelukku. Shota ternyata sangat mencintainya. Shota sangat mencintai wanita tersebut, sahabat kecilnya. Itulah kenapa ia sulit sekali keluar dari kepedihan hidupnya.

“Apakah salah karena aku mulai mencintai laki-laki ini?”

Berandai-andai Shota akan pulang hari ini rasanya telah menjadi kembang tidurku di siang hari. Aku menyerahkan operasional kedaiku pada Edo, sementara aku selalu duduk di depan jendela lantai atas, menunggu SUV putih Shota pulang.

Aku mulai hidup dalam khayalan. Aku mulai membayangkan Shota pulang dan duduk bersamaku di halaman belakang atau hanya sekadar duduk di sofa sambil menonton teve. Aku mulai membayangkan diriku pergi bersama Shota. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke mana pun aku mau. Aku lebih banyak melamun daripada menyibukkan diri. Aku sudah mendengarkan CD milik Reika yang diberikan pada Shota. Aku memutarnya setiap saat, meskipun aku tidak mengerti artinya.

Aku memakai kimono yang diberikan oleh ibu Shota di dalam rumah. Aku memang tidak bisa memasang obinya dengan baik, yang penting aku memakainya. Aku memakainya menyusuri anak tangga, dan terkadang hingga ke kedai. Edo tahu bahwa aku mulai bertingkah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli. Aku pergi ke salah satu restoran Jepang hanya untuk membeli takoyaki. Aku merindukan semua hal yang ia perkenalkan padaku. Namun, lebih dari itu, aku sangat merindukannya, dirinya... sangat.

Aku tahu, saat ini perasaanku sedang kacau dan aku tidak tahu harus lari ke mana. Edo pun bingung untuk menyadarkanku. Terkadang ia mengasihani diriku dan di satu kesempatan ia seperti ingin menasihatiku. Sayangnya, tidak kugubris. Aku seperti orang bodoh, mengetahui bahwa sudah hampir seminggu aku ditinggalkan oleh Shota.

Kini aku merasa sangat sial. Dulu aku ditinggalkan calon pengantin priaku, sekarang aku ditinggalkan oleh teman hidupku. Sungguh menyedihkan.

Aku melangkah dengan kaki telanjang di malam berikutnya menuju kamar Shota yang tak terkunci. Aku mengusap-usap ranjangnya dan tidur meringkuk di sana. Hari makin malam, aku berusaha menutup mataku, namun tidak juga bisa tidur. Telepon genggamku bergetar, ketika aku mencoba untuk menutup mataku sekian kalinya. Nomor tanpa identitas yang kukenal muncul di layar. Aku memang sengaja membiarkannya tetap berdering. Aku benci sekali harus menerima telepon seseorang yang tidak berada dalam list-ku. Namun, dering itu makin lama makin memekakkan telinga. Mau tak mau kuangkat.

“Halo?”

Tak ada jawaban

“Halo?” Lagi-lagi tak ada jawaban, setelah kuikut diam menunggu jawaban si penelepon. Waktu aku mau mematikan, tiba-tiba suara si penelepon terdengar. Aku mengenal suara ini... suara yang sama yang selalu menemaniku selama enam bulan ini. Aku sangat mengenal suara yang sangat kurindukan ini. Tanpa dia harus menyebut namanya, aku tahu bahwa ini Shota... suara lembut ini milik Shota....

“Apakah aku masih diperbolehkan pulang ke rumah, jika aku telah pergi selama tujuh hari tanpa pamit dan mungkin kau mengkhawatirkanku?” suaranya agak berat, sedikit pelan, terdengar sangat lembut, namun hati-hati.

Aku tidak bisa menjawab teleponnya, karena tahu-tahu saja air mata turun deras. Aku merindukan sekali suara ini. Aku berusaha untuk tetap tegar, tapi aku tak bisa. Air mata ini sudah telanjur jatuh dan rasanya aku terdengar seperti sedang terisak.

“Apakah mendengar suaraku saja menyakiti hatimu, Ayu?” ia bertanya, lebih pelan. Aku merasakan kepedihan yang sama pada kata-katanya, namun ia lebih tegar, tidak menangis sepertiku. Aku mengangguk mengiyakan, tapi, toh, dia tidak bakal melihatku.

“Aku minta maaf, Yu. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan masa laluku sebelumnya padamu. Aku minta maaf karena berbuat seperti ini padamu.”

Sekuat tenaga kutahan isakan tangisku. Aku meringkuk lebih kencang dalam malam yang dingin. Suara yang menyakitkan itu ternyata bisa menghangatkan sebagian jiwaku. Kami berdua sama-sama diam. Aku tidak bisa bicara, karena masih menangis dan kupikir dia pun mendengar isak tangisku, maka Shota ikut terdiam. Kami berdua sama-sama terdiam dalam suasana malam yang sunyi. Hanya tangis yang memekakkan kesunyian kami.

“Apa yang kau dengar dari ibuku memang benar. Ia kekasihku, teman kecilku, istriku, dulunya. Ia meninggal tiga tahun lalu, saat melahirkan calon putraku. Setiap tahun aku selalu mengunjungi makamnya dan memperingati hari kematiannya,” ia menjelaskan dan membiarkanku mendengarnya.

“Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya dia yang kucinta, selalu. Itulah sebabnya, aku selalu datang dan menengoknya, agar ia tahu bahwa sampai kapan pun hati ini hanya untuknya.”

Tangisku yang mulai mereda tiba-tiba terdengar kembali mengeras. Aku tidak kuat menahan kesedihanku dan kepedihanku, karena tahu bahwa aku tidak mungkin mendapatkan hatinya.

“Tapi, ketika aku duduk di kedaimu, memandangi jalanan raya dan terkadang melihatmu bekerja keras, melayani para pelanggan, kau begitu hidup. Kau penuh dengan kehidupan. Lewat secangkir kopi, aku menemukanmu. Aura kehidupanmu mengalihkan duniaku yang suram.”

“Jangan teruskan lagi, Shota!” aku pun akhirnya berani berbicara. “Aku tidak kuat mendengarnya,” aku berbisik pelan.

“Biar saja... biar kau tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Tadinya aku tidak ingin datang ke peringatan itu, karena aku melanggar janjiku sendiri untuknya. Tapi, aku sadar bahwa meski ia tiada pun aku tetap menyayanginya dan tidak kupungkiri bahwa kini aku punya tempat untuk pulang. Aku punya seseorang yang akan menungguku pulang, duduk bersamaku, walau tak ada sedikit pun topik yang kubicarakan. Karena dia menungguku... aku meminta maaf padanya di nisan itu, bahwa aku telah telanjur membagi hatiku padanya dan seseorang ini. Aku telanjur menyayangimu,” suara Shota terdengar lemah di akhir kalimat.

Aku menunggunya berbicara dan ia tidak lagi berbicara. Teleponnya tetap tersambung, namun suara tersebut menghilang. Yang ada hanya suara isakan yang jauh lebih pelan dariku, tapi terdengar sangat dalam dan menyesakkan.

“Shota...?” seperti tersentak, entah kenapa hanya namanya yang ingin kupanggil.

“Shota, kembalilah ke rumah. Aku sangat merindukanmu. Cepatlah pulang, Shota-ku.” Dan, sambungan telepon itu kemudian terputus. Sambil memandangi telepon genggamku, aku menangis lagi, bukan karena hal lainnya, namun karena aku sendiri tidak mengerti kenapa aku sangat menyayanginya. Ia pasti kembali. Dalam benakku kuyakin ia akan kembali. Yang tidak kumengerti dari hubungan kami, tidak ada seorang pun yang berani memberi tahu tentang perasaan kami masing-masing.

Sehari setelah pengakuannya di telepon tersebut, Shota kembali ke rumah, ia makin memandangku dengan cara yang lebih hidup. Matanya tidak lagi kosong. Ia memelukku kencang dan berulang kali meminta maaf padaku. Kami memulai untuk tidur bersama. Aku mengangkat seluruh barang–barangku dan berbagi lemari dengan Shota. Aku tidak tahu seperti apa hubungan kami ini, kami saling menunggu saat yang tepat sampai kami mengerti dan menyadari bahwa sebenarnya kami saling membutuhkan, saling mencinta.

Dan, di suatu hari saat aku turun ke kedai pagi-pagi sekali. Ada sebuah pajangan dinding yang membuatku tersenyum lebar. Shota yang memasangnya pagi ini. Sebuah foto berbingkai besar berwarna hitam putih. Dalam foto itu ada sepasang kekasih yang saling menyuapi takoyaki bergantian. Si wanita tersenyum malu-malu, sementara si pria berusaha menahan rasa malunya.

Aku terkejut waktu mengetahui itu kami, foto yang Shota ambil diam-diam di acara matsuri kemarin. Inikah sesuatu yang ingin kau berikan itu? Aku lebih terkejut ketika Shota sudah berada di belakangku saat aku memandanginya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan ucapan cintanya yang pertama padaku... daisuki. Kata cinta pertama untukku. Ia lantas tersenyum memandangku dan menciumku untuk pertama kalinya.