Lewat Secangkir Kopi (bag 2)
Posted by sibirong on October 6th 2010, 11:29:10 PM

Aku lalu memeluknya penuh cita. Ia tidak banyak berbicara, hanya tersenyum. Mungkin aku terlalu kencang memeluknya, karena rasanya ia berteriak padaku bahwa ia tidak bisa bernapas.

Mataku terpaku ke arah kotak persegi di atas tempat tidurku. Kotak persegi dengan warna krem itu berisi kimono yang diberikan ibu Shota sebagai kado pernikahanku. Kimono itu berwarna merah keemasan dengan corak bunga–bunga yang indah yang mengelilingi sisinya. Sudah sejam lamanya aku berdiri hanya untuk memastikan apakah aku akan memakai pakaian tersebut atau tidak. Tapi, jika aku memakainya, ini akan menjadi momen yang pas, karena kami berdua akan pergi ke acara hinamatsuri, festival boneka Jepang.

Aku belum pernah memakai kimono. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana caranya. Namun, masa bodoh dengan cara memakai, toh, aku pernah lihat beberapa film Jepang yang memakainya dan sepertinya mereka tinggal memakai baju tersebut dan mengikatnya dengan tali lebar. Tadinya aku memang berpikiran begitu. Pada kenyataannya, setelah aku memutar otakku untuk memakainya, hasilnya tidak pernah secantik yang kulihat di film-film. Aku kesal sekali, apalagi pakaian tersebut membuatku kepanasan.

Shota mengetuk pintu kamarku, karena waktu pergi kami terlambat satu jam akibat kimono ini. Aku berteriak padanya agar bisa sedikit lagi menungguku. Ia tidak menjawab, tapi dari bunyi siaran teve di ruang keluarga, itu artinya ia setuju. Aku kembali lagi mengusahakan kimono ini tampil cantik di tubuhku. Kulilitkan ikatan lebar tersebut di pinggangku, dan hasilnya lumayan, walaupun tidak sesempurna wanita Jepang.

Aku keluar dari kamar. Pandangan Shota masih tertuju pada layar kaca, walaupun aku telah mondar-mandir di depannya, mencari sepatu yang pas untuk padanannya. Shota akhirnya mematikan siaran teve dan menuju kulkas. Ia menuangkan jus jeruk di gelas, kemudian meminumnya. Aku sibuk mencari sandal yang kuletakkan di atas lemari bajuku.

Tahu–tahu Shota sudah di sampingku. Ia mengangkat tangannya, kemudian menurunkan kotak sandal, memberikannya padaku. Aku berterima kasih padanya dan segera mengajak Shota berangkat. Aku berjalan menyusuri anak tangga perlahan–lahan (tahu bahwa memakai kimono benar–benar menyebalkan, aku tidak akan memakainya) dan Shota mengikutiku di belakang. Ketika di anak tangga terakhir, langkahku terhentikan oleh sesuatu. Aku pikir kimonoku tersangkut sesuatu, tapi ternyata tangan Shota yang menarik kimonoku.

“Ada apa?” tanyaku, bingung.

“Bisa pakai kimono?” pertanyaan Shota yang singkat itu jelas membuatku kesal. Aku tahu aku belum pernah memakai kimono sebelumnya. Mana aku tahu juga bahwa kimono setebal itu!

“Mau meledekku, ya?” tanyaku, kali ini dengan ketus.
Ia tidak menjawab, tidak sedikit pun menjawab pertanyaanku dan tidak juga memberikan gesture bahwa ia memang menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan malah menarik tali kimonoku, hingga ikatannya terlepas begitu saja dari tubuhku. Aku terkejut! Bisa–bisanya dia melakukan hal itu padaku! Aku pun sedikit ketakutan. Kami belum melakukan apa–apa selama enam bulan ini.

“Diam saja!” tiba–tiba Shota berbicara. Ia mengambil ikatan lebar yang jatuh di lantai dan menyuruhku diam. Kemudian ia mendekatiku, merapikan kain kimonoku dengan sangat hati–hati. Ia terlihat sangat cekatan dan terampil. Terkadang ia menyuruhku berputar kadang mendongak. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun rasanya ia begitu berkonsentrasi.

Setelah kain kimonoku selesai dirapikan, ia mengikatkan tali yang panjang dan lebar itu ke pinggangku. Ia melilitkannya perlahan dan kencang, mirip seperti melilitkan korset Jawa setiap mengenakan kebaya. Ia menyisakan pinggiran ikatannya dan membiarkan tangannya melakukan sesuatu pada ikatan kimonoku. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil, sampai kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia menyuruhku bercermin.

Entah kenapa, kimono berwarna merah pemberian ibunya jadi tampak sangat indah kukenakan. Saat aku memutar ke belakang dan melihat ikatannya, aku juga tidak mengerti kenapa ikatan berwarna keemasan itu jadi tampak sangat manis dan menawan. Ada bentuk pita besar yang bersanggah dengan eloknya di pinggang belakangku. Aku tersenyum puas melihat mahakarya yang dilakukannya. Aku pun tidak sanggup mengucapkan terima kasih padanya. Seluruh mulutku seperti terkunci dan terpana oleh caranya memakaikan kimono tersebut padaku.

”Ayo, kita berangkat!” Shota memecah kebodohanku. Ia menarik tanganku, memegangnya, dan membawaku turun dengan terburu–buru. Kali ini aku tidak bisa lagi berbicara. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya, namun hati ini... tanpa kuketahui berdetak begitu kencang.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan festival, lagi–lagi memegang tanganku.

Aku menurut mengikuti Shota pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan bangun di keesokan hari.

Shota pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia sangat tampan. Untuk ukuran pria berwajah oriental, ia tampak memukau di antara pria-pria lainnya.

Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Shota menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya. Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata membentuk layer ke atas pundaknya. Tipikal pria oriental, lagi–lagi aku menilai.

“Berapa umurmu?” tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku benar–benar bodoh.

Shota tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.

“Pernah makan takoyaki?” lempar Shota ringan. Hari ini ia lebih banyak berbicara. Aku menandai yang satu itu.

“Belum pernah!” ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali bahwa negara ini pernah menjajah negaraku. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang kecuali sushi, itu saja.

“Kalau begitu tunggu di sini!”

Cepat–cepat Shota menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Shota, menunggunya memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi mayones.

Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke arah mulutku.

Aku terkejut melihat sikap Shota yang tiba–tiba sangat manis kepadaku, meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka mulutku hingga bola tersebut masuk. Shota menatapku kemudian mengatakan sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah. Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Shota mengulang kata–katanya.

“Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?”

Demi Tuhan! Benarkah ini Shota? Shota yang tinggal selama enam bulan bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian? Benarkah ini Shota yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak percaya Shota bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi salah tingkah dan tidak keruan begini?

Shota kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku mengejarnya, tapi Shota sudah menghilang di balik kerumunan. Aku menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku tidak mengenal pria ini... Shota tampak di luar pengetahuanku.

“Untukmu!” Tiba–tiba Shota datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata Shota tidak sedikit pun menoleh ke arahku.

Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.

Aku membiarkan tangan Shota menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang mulai menyala seiring hari yang makin gelap. Ia menarikku menuju warna terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap terjaga.

Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Edo sedang melayani para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Shota sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?

“Tuan putri sudah bangun!” tahu–tahu Edo berseru. Hampir dari beberapa tamu tertawa melihatku. Shota menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi. Shota tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?

“Shota-san membantu membuka kedai, Mbak! Maaf, ya, nggak nunggu Mbak Ayu dulu,” Edo takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah membantu mereka.

Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Shota hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa lagi bertanya apa pun. Shota beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai pulang.

Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Shota ke belakang. Ia sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Edo. “Belum ada kopi untukku hari ini,” tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya. Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Shota segera mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan menyeruputnya.

“Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi. Besok saja, deh,” Shota kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.

“Memangnya ada apa?” aku bertanya.

“Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu kalau terlambat.”

“Sesuatu apa?” aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Shota tidak pernah memberikanku sesuatu.

“Nanti lihat saja kalau sudah datang.”

Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku ingin beranjak dari sisi Shota, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu Edo, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.

“Mau buat apa?” sebisa mungkin aku berbasa–basi.
Shota menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya sedikit turun. “Kenapa tanya?”

“Tidak boleh bertanya, ya?” aku tertawa.

“Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?” Shota masih memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.

“Maksudmu?” aku mulai salah tingkah.

“Edo kan sudah memberi tahumu.” Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.

“Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?”

“Lucu saja!” kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung di pipi kirinya. Bulu matanya tampak lebih lebat dan tidak melengkung turun seperti pria oriental, yang pernah kutemui pada umumnya. Aku hampir saja tersihir oleh sosok pria ini.

Tamu Shota duduk di kursi favorit Shota ketika ia masih menjadi pelanggan setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada siang menjelang sore itu. Saat Shota menghampirinya, baru ia menoleh dan menyalami Shota. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya berbicara, ia pasti orang Jepang. Shota memang beruntung mempunyai ibu yang punya darah Indonesia, sehingga ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, walau terhitung belum lama tinggal di Jakarta.

Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.

Terus terang, aku benci sekali mendengar Shota berbicara bahasa ayahnya, bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Shota untuk memintanya berbahasa Indonesia saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.

Yang bisa aku harapkan hanya Shota bersedia untuk menceritakan padaku isi pembicaraan itu.

Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas menghampiri Shota. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Shota buru-buru melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.

“Shota... Shota...!”

“Ada apa?” Shota menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol. Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Shota pun menyahut dari dalam bahwa ia tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak mengerti kenapa Shota jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali turun ke kedai sambil menunggu Shota keluar
dari kamarnya.

Di depan kasir kedai, Edo menanyaiku tentang rencana kepergian Shota ke Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Edo. Dia pun harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.

“Ke Jepang apa?”

“Lho, memangnya Mbak Ayu nggak tahu? Memangnya tadi nggak dengar Shota-san bilang apa?” Edo bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.

“Sori, nih, bukannya nyindir, Mbak.

Tapi, Shota-san kayaknya mau pergi ke Jepang, deh!”

“Kamu tahu dari mana, Do?”

“Mbak, tadi aku dengar sendiri waktu Shota-san ngobrol sama tamunya. Si tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...,” Edo menjelaskan padaku. Aku lupa, Edo mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Edo dan memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Shota dan tamunya. Sayangnya, Edo cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.

Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku tutup lebih awal. Edo telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela kedai. Kudengar langkah Shota menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku segera menyiapkan makan malam untuknya. Shota duduk di dekat halaman belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia kelihatan kaku seperti biasanya.

“Aku mau kopi,” Shota berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.

Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil membawa kopi, kutemukan Shota telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih, walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok. Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas itu, aku mengurungkan niatku.

Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat menahan betapa memesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya. Aku pun ingin menyentuh hatinya.

Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Shota rasakan. Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh Shota. Namun, melihat pandangan matanya yang terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari yang kupunya. Tapi, Shota berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya, mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada di sisinya.

Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?

Shota terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.

“Maaf, Yu, aku ngantuk sekali….”

“Tidak apa-apa,” kujawab seadanya. Shota menatapku ketika itu. Lama sekali.

“Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku malam ini?”

Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Shota tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?

“Kenapa tidak dijawab?” Shota bertanya, pandangannya masih belum lepas dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Shota menggandeng tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sampingnya.

“Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja.”

Shota memelukku dari belakang. Aku berbaring dengan perasaan tak keruan. Sebagian tubuhku merasakan kehangatan yang lembut, beberapa di antaranya merasakan ketegangan yang luar biasa. Shota tetap melingkarkan tangannya ke tubuhku. Berulang kali ia mengatakan bahwa ia sangat kedinginan. Makin dingin yang ia rasakan, makin kencang lingkaran tangannya di tubuhku. Aku balikkan tubuhku, menghadap ke arahnya.

Suhu tubuhnya dingin sekali, sementara aku benar-benar merasa panas. Apa yang dirasakan oleh Shota? Kenapa hanya ia seorang yang merasa begitu dingin? Apa ia kena demam? Aku mulai khawatir. Kuperiksa kepalanya dan suhu tubuhnya. Kepalanya panas sekali. Aku segera beranjak dan mencari termometer. Kupasangkan pada ketiaknya, dan begitu termometer itu berbunyi, suhunya mencapai 39 derajat Celsius.

Aku turun untuk mengambil baskom berisi air hangat. Kuambil handuk kecil dan kukompres kepalanya berulang kali. Aku tidak bisa diam menunggunya. Apa yang membuatnya demam? Seharian ini ia ada di rumah, kok! Kuingat-ingat lagi apa yang telah dilakukannya sejak pagi tadi. Aku baru ingat, ia belum makan. Mungkin ia demam karena telat makan sejak siang tadi. Bagaimana bisa aku lupa kebiasaan buruknya itu? Aku cari obat penurun panas. Setelah ia meminumnya, ia kembali tertidur. Aku kompres lagi kepalanya dan aku cek lagi apakah suhu panasnya sudah turun. Kulakukan itu berulang-ulang. Aku pun mulai mengantuk dan terlelap di sampingnya hingga pagi.

“Shota?” tanganku meraba-raba sisi kiri kasur agar mendapati tubuh Shota di sampingku. Waktu tanganku terus menjelajah, Shota tidak tergapai. Aku segera terbangun. Aku melihat ke arah jam dinding Shota dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sial!! Lagi-lagi aku kesiangan!

Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku tersadar tubuhku diselimuti selimut tebal berwarna cokelat. Aku tidak ingat, apakah tadi malam aku memakai selimut atau tidak. Aku pun bergegas turun dari ranjang Shota dan keluar menuju kamarku. Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku sebelum turun untuk membuka kedai yang mungkin sudah dibuka oleh Edo (ia punya kunci duplikatnya).

Begitu aku turun beberapa menit, aku melihat selembar note yang ditulis oleh Shota untukku: “Maaf, aku berangkat pagi. Aku buatkan teh untukmu. Bisa dihangatkan, ada di dekat mesin kopi.” Aku menoleh ke arah alat mesin kopi kecil yang warnanya sudah berubah hijau. Aku segera menghangatkan tehnya dan mengambil telepon dekat dapur. Kutekan nomor milik Shota dan sambungan itu terhubung beberapa detik kemudian.

“Ada apa?”

“Hmm... arigatou!” ucapku, riang. Kutempelkan gagang telepon di telinga kananku sementara kedua tanganku sibuk membuka kamus saku Indonesia-Jepang, membolak-balik lembarannya sampai akhirnya menemukan satu kata yang pas untuk berterima kasih padanya. Dari seberang sana, Shota tertawa, mungkin menertawai pengucapanku atau keanehanku menggunakan bahasanya.

“Kenapa tertawa? Aku mau kau menjawabnya, Shota!” aku berpura-pura kesal sambil menyandar di balik dinding tembok. Terdengar suara Edo dari depan yang mulai memanggil namaku, namun aku tak peduli. Aku tetap berada di belakang, menunggu Shota berbicara, berusaha berbasa-basi semampuku agar aku bisa sedikit mendengar suaranya.

“Dooitashimashite,” akhirnya Shota menjawab. Suaranya terdengar jauh lebih hangat di telingaku, jauh lebih ramah dari biasanya. Aku mulai menatap langit-langit dapur. Perlahan dan aku yakin sekali, aku mulai merasakan Shota sebagai canduku. Kami tidak pernah melakukan hal intim apa pun selama kami menjadi sepasang suami-istri, namun keberadaannya memberikan sedikit ruang bagiku untuk bernapas.

Terkadang aku ingin pernikahan kami jauh lebih normal dari biasanya. Aku ingin kami memang seperti sepasang suami-istri. Aku ingin kami mulai saling berbicara dari hati ke hati. Aku menginginkan lebih dari apa yang kami jalani selama enam bulan ini.

“Shota, koishii... matteru yo...”

Kudengar Shota tidak menjawab apa pun. Keheningan makin terasa di antara sambungan telepon kami. Buru-buru kututup telepon tersebut dan berjalan meninggalkan dapur untuk pergi membantu Edo di kedai. Dalam hati aku memang ingin mengatakannya... “Shota, aku merindukanmu.... Cepatlah pulang....”

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Edo sudah pulang. Kini giliran pegawaiku yang lain yang berjaga di kedai. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Kubiarkan kopi tersebut tetap panas pada mesin pembuat kopi, agar saat Shota tiba, ia bisa segera meminumnya. Setelah kubuat kopi, aku kembali ke kedai.

Biasanya ia pulang paling lambat sampai pukul enam sore. Aku berusaha menenangkan diriku untuk menunggu hingga satu jam lagi, jika ingin meneleponnya. Aku pun kembali pada aktivitasku. Kulayani kembali para tamu dari mulai petang hingga malam tiba. Para tamuku pun akhirnya keluar satu per satu dari kedai setelah mereka sudah lebih fit untuk kembali ke rumah atau bekerja lagi.

Aku meninggalkan kedai di saat itu juga. Kunaiki tangga menuju lantai atas dengan cepat dan kuraih telepon genggamku. Kutekan nomor Shota, namun ia tidak juga menjawab. Tidak ada sambungan menunggu atau sibuk, yang ada hanya suara seseorang yang mengatakan bahwa telepon di luar jangkauan. Aku mulai khawatir. Aku tekan nomor kantor Shota. Hanya ada mesin penjawab yang menyuruhku memasukkan kode ekstensi untuk dihubungkan ke bagian Shota. Aku makin khawatir ketika mengetahui aku telah menelepon semua nomor telepon Shota, tapi tidak ada jawaban apa pun. Betapa bodohnya bahwa aku tidak mengetahui sedikit pun teman-teman kerjanya yang mungkin bisa kutanya mengenai keberadaan Shota. Akhirnya aku duduk lelah mengamati jendela di ruang atas dan berharap mendengar bunyi mobil Shota.