Lewat Secangkir Kopi (bag 1)
Posted by sibirong on October 6th 2010, 11:27:37 PM

“Menikahlah denganku, kalau begitu!" Kenyataannya memang aneh, namun begitulah yang ia ucapkan padaku enam bulan yang lalu di depan kasir kedai kopi milikku.

Ia telah menjadi langganan kami selama beberapa bulan ini. Aku sendiri belum pernah sekali pun ngobrol dengannya, kecuali kalau ia sedang memesan kopi atau makanan kecil. Itu pun hanya sebatas mau pesan apa, harga keseluruhan dan ucapan pemanis, seperti, Silakan menikmati. Semua itu kupikir tidak akan menjadi alasan utama kenapa ia ingin menikahiku.

Setiap kali ia datang dan menikmati kopi panasnya (ia tidak pernah pesan kopi dingin atau es kopi), ia selalu duduk di sudut ruangan. Ia duduk di bangku yang menghadap ke jalan raya dan dengan mata menerawang. Tidak jelas apa yang biasanya ia lihat, namun pikirannya seperti melayang entah ke mana.

Aku kaget saat ia mengatakan lamaran itu. Baru kusadari suaranya agak berat dan lembut. Warna matanya yang tampak muda kecokelatan menatap warna hitam mataku. Ya, aku memang terkecoh pada wajah dan suaranya.

Ada satu hal pasti, yang paling membuatku ingin secepat mungkin mengiyakan permintaan itu adalah karena minggu lalu pernikahanku dengan pria lain batal. Pernikahan yang sudah kurencanakan dengan baik ternyata gagal total. Calon suamiku meninggalkanku tepat sebelum acara janji pernikahan dimulai. Tidak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya, kecuali ungkapan bodoh seperti ‘aku mencintaimu’ setiap hari, dan intensitasnya lebih sering sebelum hari pernikahan kami sepakati.

Akbar pria mapan yang tampan. Tapi, caranya meninggalkanku secara mendadak di hari pernikahan, rasanya tidak menjamin sedikit pun bahwa hatinya seindah wajahnya.

Aku gemetaran, ketika salah satu panitia pernikahan memberitahukan hal itu. Ia sibuk menelepon Akbar dan kerabat mereka, sementara aku panik tak keruan. Saudara-saudaraku sibuk mencari Akbar dan menjemputnya di rumahnya yang ternyata sudah kosong. Aku hanya bisa menangis hebat di atas ranjang  yang harusnya menjadi saksi malam pertama kami.

Akbar menghancurkan mimpi-mimpiku tentang indahnya hidup pernikahan, tentang kebahagiaan. Ia menghancurkan seluruh harapan hidupku, menghancurkan janji yang telah kami buat, menghancurkan cinta yang telah kami bangun mulai dari nol. Ia membuatku merasa sangat malu dan dipermainkan.

Ia benar-benar menyebalkan. Benar-benar kejam.

Aku tidak bisa tidur nyenyak setelah peristiwa itu. Aku sangat malu pada teman–temanku, lingkungan sekitar, dan tentu saja keluargaku. Umurku tidak muda lagi. Bukanlah hal yang mudah untuk membuka lagi lembaran baru yang di dalamnya sudah terkoyak penuh tinta hitam yang menyebar hingga ke halaman–halaman berikutnya.

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kuinginkan dalam hidup, kecuali menjalankan bisnis kedai kopiku. Kubuang jauh–jauh pikiranku tentang berumah tangga dan lain–lainnya untuk menenangkan jiwaku. Tapi, entah kenapa, pria yang tidak kukenal itu, datang tiba-tiba ke dalam hidupku, menawarkan hal yang ingin kuhindari. Betapa bodohnya aku menyadari bahwa sebenarnya aku sangat menginginkannya. Tanpa berpikir panjang atau takut bahwa orang itu hanya mengada–ada, aku mengatakan ‘ya’.

Pernikahanku dan Shota sangat berbeda dari pernikahan pada umumnya. Aku baru tahu bahwa Shota adalah warga keturunan Indonesia-Jepang saat kulihat paspornya. Bahasa Indonesia-nya memang amat bagus, tapi tidak pernah kusangka ia punya darah Indonesia. Aku pikir ia hanya pria asing yang menetap di Jakarta dan menyuruhku menikah dengannya untuk keperluan pekerjaannya. Menikah demi sebuah green card.

Hatiku sudah keburu mati oleh cinta. Jadi tidak pernah terpikirkan bahwa aku mungkin saja sedang dimanfaatkan. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya mementingkan status. Tidak peduli nantinya aku akan dipermainkan atau dibuang, yang penting secara sah aku pernah dinikahi oleh seseorang. Aku masih bisa menikah lagi dengan orang lain, walaupun pernah ditinggal pergi oleh calon pendamping hidupku.

Di Jakarta, apalagi di kota besar seperti ini, kenyataan bahwa wanita bisa lebih sukses daripada pria bukanlah hal aneh. Namun, di usiaku yang sudah 30-an dan masih melajang, pasti mudah jadi bahan omongan. Selama aku mendapatkan statusku dan membuat seluruh orang yang mencibirku diam, maka tenanglah hidupku. Cukup jelas alasanku. Tapi, Shota, sampai hari ini, tidak pernah membicarakan alasan lamaran mendadaknya itu padaku.

Ia bekerja di salah satu kantor yang letaknya dekat dengan kedai kopiku, suatu perusahaan Jepang. Ia libur setiap Sabtu dan Minggu. Kadang–kadang ia menghabiskan hari liburnya itu hanya di depan meja kerjanya, menggambar sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Terkadang ia pergi dan pulang membawa banyak buku. Kadang–kadang ia pulang dan membawa banyak kertas berisi esai yang harus dikoreksi. Aku tidak mengerti mengapa ia terkadang bekerja di kantor, menggambar seperti seorang arsitek, tapi juga mengoreksi esai seperti seorang guru.

Ia sangat sibuk, sampai kadang lupa makan atau berbicara denganku. Dulu, sebelum kami menjadi sepasang suami-istri yang aneh ini, ia tinggal di kawasan selatan Jakarta, di sebuah apartemen. Setelah menjadi suamiku, ia pindah ke kedai kopiku. Ia membayar seluruh sewa dan membeli bangunan yang telah kusewa ini. Ia bilang bahwa ia juga punya hak untuk membayarnya, karena ia akan tinggal bersamaku.

Kami menyepakati persetujuan tersebut dan membagi kamar. Kamarku berada di lantai dua sebelah kiri, sementara kamar Shota berada di depan kamarku. Sebenarnya ada tiga kamar di tempat yang kusebut ‘rumah’ ini, kalau–kalau salah satu dari anggota rumah kami datang menginap. Aku dan Shota akan pura–pura menjadi sepasang suami-istri normal dan kami tidur di kamar yang sama.

Teorinya memang begitu. Namun, setiap kali suara pintu telah tertutup dan aku mengunci pintu kamar, Shota segera beranjak dari kasur tanpa perlu kusuruh. Ia pindah ke sofa malas dekat jendela dan tidur di tempat itu seperti sedang tidur di kasur kesayangannya saja. Ia kelihatan menikmatinya. Ia kelihatan sangat menikmati setiap hari–hari aneh kami yang kami jalani bersama. Ia tidak begitu menyukai keluarganya dan kadang–kadang ia sering menunjukkan sikap tidak sukanya, setiap kali mereka bertamu di rumah kami.

Aku jadi mulai berpikir, mungkin alasan Shota menikahiku karena hal ini. Ia menginginkan ketenangan, sementara aku sangat menginginkan status yang membuatku tenang dari segala ocehan dan rasa pedih tentang impian pernikahanku yang sesungguhnya. Shota terkadang sering membantuku, walau aku tahu dari setiap pandangan matanya itu, ia merasa seperti tidak hidup di dunia ini.

Karena pagi ini Shota berangkat lebih awal, aku bangun pagi–pagi sekali. Aku ingin membuatkan bekal untuknya, karena ia jarang sekali ingat bahwa ia butuh makan. Aku menyetel alarm ponselku, agar bisa bangun sebelum Shota bangun.

Jujur saja, aku suka Shota, secara umum. Ia orang yang tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh. Ia akan memakan segala makanan yang kubuat (jika aku membuatnya) atau ia akan mendengarkan apa pun yang ingin kuutarakan dan biasanya yang berhubungan dengan rumah kami ini. Karena kami sama–sama tinggal di satu rumah dengan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan ketenangan, maka sebisa mungkin kami saling membantu.

Ia menghargai setiap makanan yang kubuatkan untuknya. Ia meminum kopi yang kubuat untuknya. Aneh bahwa ia tidak menyukai teh, sungguh aneh... apalagi ia berasal dari campuran dua negara yang punya tradisi sangat kental tentang teh. Aku belum pernah menanyakan hal itu padanya. Melihat bahwa ia tidak banyak bertanya padaku, maka aku pun tidak mau menginterogasi.

Ia juga sering sekali memakai kaus atau kemeja berlengan panjang, yang sangat tidak kumengerti. Ketika pergi bekerja, ketika duduk di kursi dekat jendela hanya untuk bersantai, ketika malam tiba, bahkan ketika cuaca di luar sangat panas, ia tidak pernah sekali pun menggunakan lengan pendek ataupun baju tanpa lengan. Aku penasaran ingin bertanya, namun lagi–lagi mengingat bahwa ia tidak banyak berkomentar tentangku, maka aku mengurungkan niat tersebut.

“Aku pergi dulu kalau begitu,” Shota berbicara pelan, namun matanya tertuju pada tas hitam dan map biru yang akan ia bawa.

Aku menunggunya menatapku, sebelum memberikan bekal tersebut padanya. Rasanya ia tidak menyadari kehadiranku sampai ia melihat bungkusan bekal berwarna biru tua yang kupegang. Matanya menatap bungkusan itu dan kemudian menatapku.  “Itu apa?” tanyanya, bingung.

“Bekal,” jawabku singkat.

“Untukku?” tanyanya lagi. Kali ini aku cuma mengangguk.

Ia yang tadinya sudah berada pada anak tangga pertama sebelum turun, akhirnya kembali lagi mendekatiku dan mengambil bekal tersebut dari tanganku. “Terima kasih,” ucapnya begitu cepat dan singkat.

Kemudian, suara langkah dari anak tangga menuju lantai pertama pun terdengar. Suara pintu yang tertutup juga terdengar beberapa detik kemudian. Aku mengintip dari jendela atas dan melihatnya keluar rumah menuju mobil SUV-nya. Desingan mobilnya terdengar dari atas dan perlahan menghilang dari tangkapan telingaku. Ia sudah pergi.

“Mbak Ayu! Mbak Ayuuu!” Edo datang setelah mobil Shota menghilang. Ia membuka helm dan nyengir seperti orang bodoh menyapaku. Edo sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, apalagi karena ia masih terlalu muda. Umurnya baru 20 tahun dan ia telah bekerja di kedaiku sejak setahun yang lalu. Ia mengetuk–ketuk pintu kaca kedaiku kencang sekali, seperti hampir mau pecah.

“Sabar, dong, Do! Lagian juga nggak dikunci, kok!”

Edo segera masuk sambil membawa satu tas berisi buku–buku besar.

“Kamu dan Shota, kok, hobi banget bawa banyak buku, sih, Do? Mau ngapain memangnya? Tidak berat?”
“Ini Mbak... Shota-san bilang, katanya kedainya mau ditambahin pakai perpustakaan,” ucap Edo kemudian.

Shota-san... Shota-san... entah kenapa Edo lebih suka memanggil Shota dengan akhiran –san dibanding awalan ’Kak’ atau apalah. Pernah sekali aku tanya, katanya karena wajahnya yang imut itu bikin Shota tidak cocok dipanggil Kakak.

“Dia, kok, tidak bilang aku, ya?”

“Memangnya Mbak Ayu nggak tahu, ya?”

“Nggak.”

“Duuuh... jadi nggak enak nih aku. Mungkin Shota-san mau buat kejutan untuk Mbak Ayu. Makanya, dia tidak ngomong apa–apa,” Edo buru–buru membenarkan penjelasannya dan meluruskan pikiranku yang mulai menceng.

“Mungkin...,“ tanpa pikir panjang aku cuma mengatakan ‘mungkin’ pada Edo. Memang mungkin saja. Mungkin saja ia tidak mau memberi tahuku... mungkin saja ia tidak perlu memberi tahuku, karena, toh, bangunan ini sudah dibeli dengan uangnya. Mungkin juga aku tidak perlu tahu. Banyak sekali kemungkinan dan aku kelewat memikirkan hal tersebut. Aku dan Shota, toh, cuma teman satu rumah. Jadi, kenapa aku harus merasa terganggu kalau dia juga mau melakukan sesuatu untuk rumahnya ini?

“Yuk, kita beres–beres!” kututup pikiran anehku dengan pekerjaan. Aku pun meninggalkan Edo di meja depan untuk pergi ke dapur dan menyiapkan kedai untuk dibuka.

Shota pulang tepat sebelum Magrib. Aku membuat kopi panas. Ia selalu suka kopi yang masih panas. Jika sudah mulai mendingin, tak akan ia sentuh. Karena itulah, aku selalu membuatkan kopi setiap kali desingan suara mesin mobilnya terdengar.

Kebiasaan ini sudah kuketahui sejak ia menjadi pelanggan setia di kedaiku. Ia biasanya memesan kopi yang panas dan saat kuantar kopi tersebut ke mejanya, ia selalu langsung meminumnya tanpa harus membuka koran atau laptop-nya dan menunggu kopinya mendingin. Ia memang berbeda.

Langkah Shota terdengar makin dekat menuju lantai dua. Edo dan beberapa karyawan kedai berada di bawah untuk melayani para pelanggan. Pada jam–jam Shota pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk berada di rumah kami, lantai dua, untuk memberikan senyuman pada pandangannya yang tetap tak berubah: seperti tak hidup di dunia ini.

Cangkir kopi merah maroon favoritnya selalu kuletakkan di depan meja teve. Setiap kali ia beranjak ke atas, wajah yang selalu ia lihat adalah wajahku. Memang begini kenyataannya, karena kami punya tujuan yang sama dalam menikah, maka kami pun setidaknya harus bisa saling berteman dengan baik.

“Maaf, terlambat,” Shota sedikit menundukkan kepalanya dan menatapku, kemudian menatap cangkir kopi.

Kadang–kadang ia segera masuk kamar hanya untuk mengganti pakaiannya dan kembali lagi ke ruang teve dengan kaus lengan panjang dan celana pendeknya. Tapi, kali ini ia langsung duduk sambil mencari remote.

“Tidak mandi dulu?” aku mendekatinya, masih memakai celemek berwarna hijau merah khas kedaiku.

Shota melirik sebentar, kemudian kembali lagi menatap teve. Aku lalu beranjak dari sofa menuju tangga. Bukanlah hal yang bagus sebenarnya, kalau mengajak Shota berbicara. Rasanya ia sudah pendiam dari sono-nya, jadi aku tidak perlu lagi merasa sakit hati, setiap kali pertanyaanku tidak ia jawab.

“Mau ke mana?” tiba–tiba Shota bertanya ketika aku telah turun satu tangga menuju kedai.

“Bantu Edo.”

“Oke,“ ucap Shota lagi. Kali ini tangan kanannya sedang memegang cangkir kopi.

“Sudah makan belum?” tanyaku akhirnya, mengetahui bahwa ia punya selera makan yang kurang begitu bagus.

“Nanti aku turun setelah mandi.”

“Oke!” Aku kembali melangkahkan kakiku ke tangga berikutnya. Namun, di tangga ketiga, Shota meneriaki namaku. Kontan aku diam dan segera menoleh ke arahnya, “Kenapa?”

“Bento-mu tadi pagi... eh... hmm... enak!” ucapnya, ragu–ragu. Suaranya berubah sangat pelan, mungkin ia malu pada kata–kata yang ia lontarkan. Aku hanya tersenyum membalasnya dan kembali turun ke kedai. Tidak yakin apa yang sedang kurasakan, namun aku ingin tersenyum lebar.

“Mbak? Mbak?” aku seperti mendengar suara Edo di telingaku. Aku belum menyadari apa pun, sampai Edo mencoba menepukku ringan dengan nampan.

Cepat–cepat kuambil nampan tersebut dari tangannya dan kulemparkan pukulan ringan ke punggungnya. Edo berteriak meledekku, sementara aku kesal karena dia menggodaku.

“Do, aku kan sedang serius konsentrasi. Kok, kamu gangguin.”

“Konsentrasi apa, sih, Mbak?” ledek Edo.

Anak ini sering betul membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku anak tunggal, keberadaan Edo sangat membuat hatiku kembali muda. Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.

“Kamu sudah makan?” Aku menoleh ke arah Edo. Kali ini ia sedang membuatkan secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Edo mengangguk ke arahku. Aku bermaksud mengajak Edo bergabung untuk makan bersama dengan Shota, jika ia belum makan. Tapi, karena Edo sudah makan, aku segera meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Shota dan aku pakai sebagai ruang makan kami.

Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang. Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Shota seminggu setelah kami menikah, enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang kemudian membuat tatami kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.

Shota sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam Shota yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali. Ia selalu begitu.

“Maaf, ya, kedai sedang ramai,” aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk sayur bayam kesukaannya.

“Kau tidak perlu seperti itu setiap hari,” ucap Shota tiba–tiba.

Aku tidak mengerti perkataannya.

“Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Yu. Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku nggak bisa mengabaikanmu begitu saja,” jawabku apa adanya.

“Aku tidak mau merepotkan.”

“Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini, kok. Bahkan, jauh sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara kumpul–kumpul,” aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Shota tidak tertawa sama sekali.

Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan, namun   sakit hati dan malu yang kurasakan tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Shota duduk di sampingku dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit ini.

Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Akbar memang benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.

“Aku tidak suka melihatmu melamun!” suara Shota terdengar, bagai tanda bagiku untuk kembali ke dunia nyata.

“Aku tidak melamun,” tangkisku.

Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh keheningan. Setelah selesai makan, Shota beranjak dari tatami dan berjalan ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara terasa sangat dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah berbeda.

Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan tanganku. Ketika aku menoleh, Shota telah memegang tanganku. Ia menatapku, tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku sangat terkejut pada sikap Shota yang seperti itu. Aku pikir ia telah beranjak dari ruangan ini.

“Jangan pikirkan dia lagi...,” akhirnya ia berbicara, pelan.

Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.

Shota sebenarnya sama seperti kebanyakan pria pada umumnya. Ia bekerja pagi–pagi dan pulang di sore hari. Ia mengendarai SUV yang sama seperti hampir kebanyakan pria di sini. Hobinya membaca buku dan buku. Aku belum pernah melihatnya diam tanpa buku di sampingnya.

Ia pendiam, sangat pendiam. Beberapa minggu sejak kami menikah, Shota jarang sekali berbicara denganku. Jika berbicara, ia hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata singkat seperti ‘terima kasih’, ‘aku pergi’.

Sebenarnya, aku merasa sangat berterima kasih pada Shota karena mau menikahiku, meski saat itu kami belum saling mengenal. Aku pun tidak tahu siapa namanya, dulu. Yang aku tahu, di sore itu, ia datang kepadaku dan mengajakku menikah. Karena ia pendiam dan tidak banyak bicara, aku merasa sangat aman, tidak tahu kenapa.

Suatu ketika, beberapa minggu setelah pernikahan kami, aku duduk diam di lantai satu, tempat kedai kopiku. Saat itu aku baru saja tutup dan kumatikan seluruh lampu kedai. Hatiku sangat kacau, karena baru saja melihat Akbar melewati kedaiku dan sedang bersama wanita lain. Aku kalut. Shota berada di lantai dua. Suatu nilai plus bahwa ia tidak melihatku yang sedang kacau. Ketika semua gorden sudah tertutup dan semua lampu kedai dimatikan, aku menangis. Aku menangis sekencang–kencangnya melihat pemandangan tersebut.

Mungkin tangisku terlalu kencang, karena Shota tiba–tiba berdiri di hadapanku yang sedang penuh air mata. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan tisu kepadaku. Ia menemaniku menangis sampai pagi tiba. Ia tidak tidur, tidak juga memelukku. Ia hanya diam dan menemaniku. Di pagi itulah akhirnya aku menceritakan padanya seluruh rentetan menyakitkan yang kualami karena pria bernama Akbar.

Edo pergi kuliah pagi ini, jadi ia baru akan datang ke kedai setelah makan siang. Hari ini kedai tidak terlalu ramai, makanya aku bisa sedikit santai dan mulai membuka laptop-ku. Sudah lama aku tidak membuka komunitas sosialku di dunia maya.

Salah satu temanku men-tag salah satu acara kebudayaan. Ia mengundang datang sambil membawa suamiku. Sepertinya tawaran yang bagus, lagi pula sudah lama aku tidak bersenang–senang di luar rumah. Aku segera menuliskan komentar: ‘aku akan datang’.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Apakah kita akan ikut?”

Aku mengikuti Shota menaiki tangga menuju lantai dua, ketika ia tiba dari kantor. Aku tahu ia mulai risi aku ikuti terus sejak turun dari mobil. Ia duduk di sofa maroon kesayangan kami dan minum secangkir kopi panasnya.

“Aku juga punya undangannya.” Shota menoleh ke arahku.

“Hah? Apa?”

“Sebenarnya aku sudah punya undangannya sejak beberapa hari yang lalu. Aku bingung mau datang atau tidak. Masalahnya aku tidak terlalu menyukai keramaian... tapi aku diharuskan datang. Beberapa teman kerjaku menjadi panitianya.”

“Lalu?” tanyaku lagi.

“Tadinya aku ingin mengajakmu,” ia menjawab. Saking senangnya, aku meremas pergelangan tangannya dan tertawa gembira!

“Ooh, demi Tuhan, Shotaaaa! Aku senang sekali!”