Legiman
Posted by sibirong on June 28th 2010, 6:02:01 AM

Legiman tersenyum-senyum sendiri malam itu, jemarinya menekan mouse, di hadapannya monitor LCD 17 inch. Istri, anak, menantu dan kedua cucunya sedang belanja di Carefour. Apa yang ia lihat? Situs jejaring sosial! Di usianya yang lewat 65 tahun, tak disangka, masih sehat dan bugar, dan kembali berhubungan dengan teman-teman lamanya.

Memandang pemandangan kota Delft, Netherland di hadapannya, ingatannya melayang puluhan tahun silam. Ketika ia menempuh studi master di TU Delft, menjadi ahli mesin rotating. Memorinya memutar mundur, lembar demi lembar. Studi sarjananya di Praha, yang diselesaikan selama 3 tahun saja.

Persahabatannya dengan mahasiswa-mahasiswa Eropa, percintaanya dengan gadis-gadis pirang lagi segar. Jarum jam berputar mundur lebih jauh, ketika ia kerja di departemen perindustrian, yang kemudian mengirimnya ke Prague University of Technology, Cekoslowakia. Jarum memutar mundur satu fragmen lagi, ketika ia mengenakan celana monyet, asyik di bengkel praktikum di STM sebuah kota di Sumatra.

Legiman, lahir hari Kamis Legi, tahun ketika Jepang mendarat di pulau Jawa, agaknya di tahun 1942. Legiman anak ke-5, dari sepasang petani kecil di sebuah desa di Jawa Tengah. Saat itu jaman susah, makanan sulit didapat, apalagi asupan bergizi, tak heran kondisi emaknya Legiman kian hari kian lemah, didera sakit. Bayi yang belum genap 3 bulan itu, akhirnya harus kehilangan belaian ibu. Emak Legiman akhirnya wafat. Legiman tumbuh besar tanpa merasakan kasih sayang ibunda, bahkan sepotong foto pun ia tak punya. Namun, beberapa kali dalam mimpinya, ia berjumpa dengan seorang ibu berkebaya dan kain, wajahnya mirip kakak perempuannya. Saudara-saudara mengiyakan, seperti itulah wajah ibunda. Kakak Legiman tertua, gadis berusia 15 tahun, menggantikan peran ibunya. Sementara bapak mereka, menggarap sawah.

Hiroshima & Nagasaki luluh lantah, dihantam bom atom kiriman Sekutu, tak lama, Jepang pun menyerah, angkat kaki dari nusantara. Indonesia merdeka, namun tak lama, Belanda, membonceng Sekutu, ingin kembali menguasai negeri ini.

Pecahlah revolusi. Jogja dan Jawa Tengah, menjadi area peperangan. Legiman kecil, baru 7 tahun, mengungsi ke gunung bersama bapak dan kakak-kakaknya. Ketika lelah, tak jarang, ia digendong yu Wiyah, kakak tertuanya. Akhirnya perang usai, pengungsi turun gunung, kembali ke desa masing-masing. Karena lahan dan sawah tidak lagi menjanjikan, beberapa orang di desanya mengajak pindah ke pulau Sumatra, alasannya, di sana tinggal buka hutan, sudah ada beberapa kerabat yang memulai dan tinggal di sana. Bapaknya Legiman, mengajak anakanaknya hijrah. Yu Wiyah dan Yu Minah, dua kakak tertua, yang sebentar lagi akan dinikahkan, tetap tinggal di desa mereka, Legiman beserta dua kakak lelakinya, ikut dengan sang Bapak, bersama paman-paman mereka.

Ternyata, Sumatra memang luas dan liar. Para pendatang ini membuka belantara, menjadikannya sawah dan ladang. Namun, kehidupan mereka tetaplah sulit. Bapak kemudian menikah lagi. Legiman kecil, karena sungkan dengan sang ibu tiri, hidup berpindah-pindah, dari paman yang satu ke paman lain, seringkali tidur di surau. Kedua kakaknya sudah cukup besar untuk bekerja ke kota terdekat. Legiman, meski usianya sudah hampir 12 tahun, kembali duduk di bangku SD. Satusatunya sekolah di wilayah yang terdiri dari beberapa dusun itu.

Di hari pertama, guru menyusun bangku mereka, dan…Legiman didudukkan di sebelah anak perempuan kecil, 7 tahun usianya. Dan di hari itu juga, berdesir darah Legiman. Meski masih kecil, gadis itu manis wajahnya, kulitnya kuning langsat terawat, tak seperti anak-anak di dusunnya. Pakaiannya juga rapi dan bersih. Namanya Lani. Belakangan Legiman tahu, Lani adalah anak seorang pegawai kantoran STANVAC, perusahaan minyak Belanda yang beroperasi di daerahnya. Kata orang-orang, Pak Darsono, ayah Lani, adalah lulusan HBS (setingkat SMA) dari Semarang. Jaman itu, hanya anak priyayi, yang diizinkan Belanda sekolah sampai HBS.

Legiman langsung jatuh hati kepada Lani, tapi tidak dengan gadis kecil bau kencur. Apalagi, Legiman, anak tertua di kelasnya, berpenampilan kumal, dekil, kulit hitam pekat. 11-12 dengan anak-anak gelandangan – untuk anak yang tidurnya berpindah-pindah, tiada yang mengurus dan memperhatikannya, wajar lah casing Legiman seperti itu.

Baru kelas 4, Legiman bosan dengan pelajarannya, bukan karena ia paling tua, namun ia merasa bosan, di balik tubuh kecil lagi ceking itu, tersimpan kecerdasan alami. Setiap pelajaran yang diberikan, Legiman selalu beberpaa langkah lebih cepat dari rekan-rekannya. Beruntung, gurunya memahami, Legiman diberikan kesempatan ujian negara untuk lulus SD. Tak sulit baginya mengerjakan ujian-ujian itu, namun, ujian sesungguhnya adalah ketika ia dinyatakan lulus. Apa yang akan ia kerjakan? Untuk melanjutkan SMP, bapaknya angkat tangan, tak ada biaya, sementara adik tirinya mbrojol dengan teratur, nyaris setiap tahun.

Legiman kembali meneruskan kehidupannya, angon kambing, ngarit rumput, ikut menyemai benih padi di sawah, hingga beberapa pekan kemudian, Kak Parno, kakaknya no. 3 yang kerja sebagai pesuruh rendahan kantor walikota, pulang ke dusunnya di akhir pekan. Ia bercerita, bos besar di kantornya, suatu hari mengajaknya berbincang-bincang ringan. Menanyakan asal usul dan keluarganya. Kak Parno juga bercerita punya adik bungsu yang baru lulus SD, namun bingung mau ke mana. Apa pasal? Selain tak ada biaya, di daerah mereka saat itu tak ada satu pun SMP. Semua sekolah setingkat SMP ada di kota, yang jauhnya 1 jam naik sepeda, disusul dengan menyeberang sungai naik kapal ferry.

Tak disangka-sangka, bos besarnya, yang bernama Pak Sutomo, berkata:”kamu ajak adikmu ke rumahku senin depan, tinggallah ia bersama keluargaku. Sekolahnya akan kubiayai. Lebih baik dia kumasukkan sekolah teknik, ST.”

Kak Parno termenung, zaman itu, pegawai negeri gajinya amatlah kecil, meski ia pejabat, tak jauh beda dengan pegawai rendahan. Pak Sutomo pun masih menghidupi 4 anak kandung, dan 1 keponakan.