
Sore itu, Bunali turun dari angkot, melangkahkan kakinya ke bimbel primusgamus. Bunali baru naik kelas 2 IPA, dan karena harap-harap cemas akan beratnya pelajaran, orang tuanya memaksanya mengikuti kelas tambahan di bimbel. mulanya Bunali enggan, mengingat biayanya cukup mahal, sementara bapaknya hanya kuli di sebuah pabrik kecil, dan ibunya kerja part time di sebuah katering.
Bimbel ini juga baru buka setahun, merupakan cabang dari Jogja. di kelasnya, Bunali menghitung ada 20 siswa, beberapa di antara nya temannya satu sekolah, berarti siswa lainnya dari SMA berbeda. Setelah saling mengenalkan diri, pelajaran dimulai, baru 10 menit, pintu yang terbuka separuh diketuk, diiringi sepotong wajah milik seorang gadis remaja mengangguk,
"maaf pak, telat."
Pak Mugi, mentor fisika, hanya berdehem,
"Silahkan cari bangku kosong."
Gadis itu bergegas ke belakang, menempati bangku kosong. Bunali duduk di samping nya.
"Pak Mugi, kita tadi khan udah saling kenalan. Ada anak baru koq diem-diem aja?"demikianlah celetuk, Memel. dari gayanya yang tengil, bisa ditebak, Memel termasuk siswa badung dari SMAN 1.
"Oh ya, siswi yang baru datang, mohon berdiri memperkenalkan diri, nama, dan sekolahnya."
Gadis itu celingak-celinguk, pipinya memerah. kemudian berdiri. "selamat sore pak, nama saya Yusi, dari SMAN 1." kelas sedikit riuh...beberapa anak SMAN 1 cekikikan, termasuk Memel.
"Lho, Yusi dah kenal dong sama temen2 SMAN 1 di kelas ini? termasuk mas yang ini?" Pak Mugi, dengan perawakannya yang kurus kecil, muka ndeso katrok, lajang dari Bantul ini tampak jenaka, menunjuk Memel. Yusi mengangguk.
Memel menimpali,"maksud saya, biar temen-temen lain juga kenal. biar akrab gitu pak."
Demikianlah, pelajaran fisika, yang lebih banyak latihan soal-soal semakin bikin panas kepala Bunali. Sesekali ia melirik Yusi, emhh...manis juga anak ini. langsing, semampai, putih, dan dengan bibir yg ranum, senyumnya unik & khas. matanya juga indah. Coffe break 10 menit, Bunali berniat mengajaknya ngobrol. Ketika sedang menyusun rencana, kata-kata pembuka, tiba-tiba..
"Eh, namanya siapa ya? duduk sebelahku koq ngga tau nama." Yusi menggeser bangkunya menyodorkan tangan. Bunali menyambutnya.
"Bunali."
"kamu dari SMA mana Bun?"
Bunali menjawab, "SMA Sasaparila."
Yusi menyambung, "mau ngga nemenin aku, haus nih, enaknya minum teh botol."
Bunali pringas-pringis,"beruntungnya daku, duduk deket cewek cakep aja udah seneng."
Kemudian mereka menuju kantin di sebelah bimbel. Bunali senang sekali ngobrol2 dengan Yusi, dalam pandangannya, Yusi adalah gadis yang ramah & pintar.
Tepat pukul 17.45 sore, pelajaran usai. Semua siswa bergegas pulang. Kiranya, malam itu adalah waktu tayang sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”. Jaman itu belum ada internet, kaskus apalagi fesbuk. Nonton TV adalah suatu hiburan lumayan. Bunali, demi menghemat ongkos, daripada naik angkot, memilih berjalan kaki sekitar 20 menit, untuk kemudian naik angkot berbeda yang menuju rumahnya.
Baru 100 meter berjalan, terasa tetes demi tetes air hujan turun. Mulanya rintik, lamalama makin deras. Apesnya, Bunali tidak membawa payung. Beberapa langkah di depannya, ada warung kecil. Bunali berniat berteduh di sana.
Tiba-tiba, terdengar deru mobil di belakangnya, Bunali menoleh. Sebuah sedan lancer biru berjalan lambat, jendela kaca belakang terbuka, sepotong wajah nongol.
“Bun, ayo naik, daripada hujan-hujanan.” Kiranya Yusi, teman barunya.
Bunali masih bengong, pintu belakang terbuka, Yusi menjulurkan tangan menarik Bunali.
“Waduh Yus, koq merepotkan, rumahku jauh lho..”
“Ngga papa koq, ntar tak anterin.”
Yusi dijemput sopirnya. Bunali inga-ingi. “nih cewek, udah cakep, anaknya orang kaya lagi..”
“Bun, emang rumah kamu di mana?”
“Jauh Yus, di sekip.”
“Hayah, itu sih masih deket lah. Eh, kamu cepet2 pulang, mo nonton si Doel ya?”
Bunali mengangguk.”pastinya lah. Kamu ngikutin juga?”
“Iya donk. Lucu dan seru sih. Eh, kamu mau ngga nonton bareng aku di rumahku? Ntar pulangnya tak anterin.”
Bunali sungkan. Dia paling grogi kalau masuk ke rumah orang kaya. Biasanya mendadak dengkulnya lemes, lidahnya kelu.
Mendadak, sepotong tangan mulus menarik tangan Bunali.
“Ayo masuk Bun..”
Bunali duduk di samping Yusi dengan gugup. Ia tak habis pikir, cewek ini baru saja dikenalnya, sekarang bahkan aroma parfum D&G nya tercium wangi. Meski AC di mobil tersebut mengalir kencang, tak urung, wajahnya terasa berkeringat. Sementara hujan malah bertambah deras.
“Bun, kamu ngga keberatan khan mampir? Nanti pulangnya aku anterin deh.” Bunali garuk-garuk kepala.
Sementara, Jono, sang sopir, sesekali melirik dari kaca spion tengah. (mungkin doi mikir, agak enggan harus nunggu sampai malem, trus nganterin Bunali si bocah kampung)
Seolah bisa membaca pikiran, Yusi berkata”mas Jon ntar langsung pulang aja. Ntar aku sendiri yang nganter temenku inipulang.”
Jono menjawab takzim, ”Inggih non, matur nuwun.”
(Jono atau lebih suka dipanggil Jon, tinggal di perkampungan tak jauh dari rumah Yusi, kalau pagi ia mancal sepeda ke rumah Yusi, baru lah nyupir, terserah tujuan juragan).
“Bun, aku sebenarnya pernah lihat kamu lho sebelumnya.” ujar Yusi, sembari menepuk paha Bunali.
Bunali peringas-peringis, bagai tersengat setrum, aliran darahnya mengalir lebih cepat.
“di..di mana Yus?” tanyanya.
“Baru minggu lalu, di GOR, tanding basket, sekolahku lawan sekolahmu di final.”
Bunali mengingat-ingat. “kamu duduk di mana Yus? Aku koq ngga ingat.”
“Ya mana kamu sempat lihat-lihatlah, kamu khan sibuk slam dunk.”
Bunali mesam-mesem.
“Kamu keren banget lho waktu itu…” puji Yusi.
Bunali inga-ingi. Meski bocah kampung, Bunali jago basket. Ia tak perlu nge-gym, tubuhnya secara alami, hasil kerja keras nimba sumur, angon kambing dan nebang pohon buat kayu bakar, membikin otot-ototnya gempal dan kencang.
“Aku sebenarnya sungkan ke rumah kamu …” ujar Bunali lirih.
“Santai aja Bun, aku sendirian di rumah, orang tuaku lagi di Jakarta. Di rumah hanya aku, dan mbok pembokat.”bisik Yusi lirih di telinga Bunali, manja.
Bunali senut-senut.
“Emang kamu berapa bersodara Yus?”
“Aku bungsu dari 3 saudara, kakakku pertama, cowok, kuliah di Amrik sono, kakakku kedua, cewek, kuliah di Jakarta.”
Hening sejenak.
“Nah, akhirnya kita sampai juga,” Yusi bergumam.
Bunali sok kalem, meski kagum campur sungkan melihat kediaman Yusi, bagai istana godfather Mafia seperti dalam film.