Trio Ndeso Katrok
Posted by sibirong on June 2nd 2010, 5:14:49 AM

Meski baru jam 9 malam, angin dingin semilir menusuk, apalagi setelah diguyur hujan yang cukup deras. Samar-samar, terdengar suara kodok yang bersahutan, dari balik ilalang, yang selalu tergenang air. Tak heran, tempat ini sebelum didirikan kampus adalah lahan rawa-rawa. Di salah satu pojok kampus, laboratorium komputasi, 3 orang mahasiswa, asyik memperbincangkan sesuatu, setelah sejak petang melanjutkan riset tentang jaringan syaraf tiruan, sebuah proyek bersama bersama dosen mereka.

Mereka semua duduk di semester 3, sebutlah nama mereka, Asmuin, Pairun, dan Mustangin. Trio ini dikenal sebagai dewanya lab. Komputasi. Asmuin, arek asli dusun Kepanjen, Malang Selatan, bapaknya kepala pabrik gula. Perawakannya bongsor dan berkulit hitam, kumisnya yang jarang2 dibiarkan memanjang. Pairun, arek asli Lamongan, santri jebolan salah satu pesantren ini dikenal alim, meski bapaknya hanyalah buruh tani, Pairun sejak kecil diasuh dan dididik oleh kepala desanya, masih terhitung kerabat dekat bapaknya, yang kebetulan belum dikaruniai seorang anak. Sedangkan Mustangin, tumbuh di pegunungan yang kering di
Trenggalek, bapaknya, juragan perkebunan cengkeh dan tembakau.

Apa yang mereka diskusikan kiranya bukanlah persoalan yang mambu akademik apalagi urusan sopwer (baca: software). Singkat kata, Pairun sedang curhat, betapa hatinya mulai tertambat pada gadis manis, mahasiswi arsitektur semester 3, bernama Nabila. Siapakah dia? Nabila, dalam darahnya mengandung genetik trah mangkunegaran, arab, serta sedikit Belanda dari nenek buyutnya. Penampilannya, ayu semlohai, hidung bangir, kulit bening berkilau, body sintal bak Nafa Urbach berduet dengan Rahma Azhari, betisnya mbunting padi. Tutur katanya lembut, renyah dan gurih. Keningnya sedikit lebar, khas putri keraton.

Nah, Pairun berjumpa dan mengenal Nabila, karena mereka satu kelas di kursus bahasa Perancis di kampus. Logat Kairun yang jawa medok, dengan tampang lugu khas ndeso, serta spontanitas yang orisinil, kadang ngawur, menjadikan kelas mereka ger-geran. Kairun yang berpikir dalam bahasa Jawa, perlu waktu untuk menerjemahkan apa yang hendak diucapkannya ke dalam bahasa Indonesia, barulah ke bahasa perancis. Kalo menemui kesulitan pelafalan, Pairun sering mengumpat “jancik, angele rek!”.

Madame Henriette, guru mereka, yang berasal dari negeri Napoleon, sudah 2 tahun di Surabaya, memotong pisuhan Pairun. “Monsiour Pairun, jancik itu apa ya? Saya taunya JANCUK. Itu umpatan, bukan?” Pairun gelagapan, menjawab sekenanya. “Oui, madmoiselle. JANCIK is JANcuk yang baIK!” Meledaklah tawa sekelas, termasuk Nabila yang duduk di sebelahnya.

Kowe koq baru ngerti ono cah arsitek sing ayu nemen koyok ngono?” tanya Mustangin. Pairun inga-ingi, garuk-garuk kepala. (seumur-umur, Pairun menganggap Siti Markonah, putri kyainya, adalah gadis tercantik & pertama yang ia naksir, tentu setelah merantau di Surabaya, Pairun melihat banyak gadis yang jauh lebih cantik dari Siti, tapi soal rasa, hatinya masih tertambat pada kembang desa Babat itu, namun kali ini, Nabila mengubah segalanya).

Asmuin, yang merasa gagah dan berwibawa, menyahut:”gampang jon. Serahkan pada ahlinya”. Sok jumawa menunjuk pada dirinya sendiri. “sek..sek..sek. kamu sudah kenal sama sang Nabila sejauh apa?”

Pairun mesam-mesem, “baru juga 2 kali ketemu di kelas Perancis, ngobrol-ngobrol ringan saja

Udah pernah maen ke kosnya? Apa kamu sudah ngerti dia sudah punya gebetan atau belum?” Asmuin bertanya seakan-akan expert dalam urusan kodew.